Diangkatnya tokoh Muhammadiyah, Muhammad
Darwis atau biasa dikenal dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan ke dalam sebuah film
yang berjudul Sang Pencerah. Turut memotivasi Aisyiyah untuk membuat film dari
tokoh pendirinya, yaitu Siti Walidah atau biasa dikenal Nyai Ahmad Dahlan. Sang
Pencerah rilis tepat di momen 1 abad berdirinya Muhammadiyah di tahun 2010.
Begitupula dengan Nyai Ahmad Dahlan yang tayang bertepatan dengan moment 1 abad
berdirinya Aisyiyah. Sang Pencerah kala itu berhasil sukses merebut hati
penonton atas arahan dari Sutradara Hanung Bramantyo, lalu apakah Nyai Ahmad
Dahlan akan bernasib sama atau akan lebih baik?
|POSTER|
Nyai Ahmad Dahlan menceritakan kehidupan seorang Nyai Ahmad Dahlan dari lahir
pada tahun 1872 hingga wafat pada tahun 1946. Tentunya latar waktu pada film
sekitaran tahun tersebut. Nuansa lawas dihadirkan pada posternya yang bersalutrasi
rendah, dengan dominan warna putih tulang dan kecokelatan. Jenis font yang
digunakan, cukup unik dan berciri khas. Bisa dibilang poster ini standar.
Bahkan gaya yang digunakan, seperti menempel tokoh utama secara besar, dengan
segala unsur yang disusun seperti itu, membuat poster ini ‘ketinggalan jaman’.
Trailer Nyai Ahmad Dahlan tak terlalu
menarik. Tak ada pengenalan yang kuat, pengantaran masalah, dan konfliknya pun
tak jelas apa. Soundtrack yang di munculkan juga, tak begitu enak didengar. Namun
sosok Nyai Ahmad Dahlan lah, nilai kuat dari film ini.
|CERITA|
Menonton Nyai Ahmad Dahlan, cukup melelahkan. Bisa dikatakan ini adalah film
biografi yang ‘konvensional’. Cerita berlalu dengan ‘polosnya’. Mulai dari
kecil, hingga dewasa dilewati dengan biasa. Menontonnya seperti membaca cerita
sejarah tentang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan. Tak ada sentuhan yang berbeda. Tak
ada treatment khusus. Bahkan film ini cukup kehilangan arah. Banyak ‘campur
tangan’ Kyai Haji Ahmad Dahlan di film ini, padahal ini film milik Nyai Ahmad
Dahlan. Masih banyak PR dalam penggarapan cerita, alur, plot, dan segala unsur
cerita di film ini masih sangat lemah. Satu-satunya yang masih bisa dinikmati
adalah pembelajaran sejarah yang di ilustrasikan menjadi sebuah film.
|VISUAL|
Cerita masih berantakan, begitupun kamera. Angle pengambilan gambarnya sangat
biasa, bahkan sampai cukup mengganggu. Ada juga gambar yang tak nyaman untuk
dilihat, dan tak terlihat motivasi yang begitu berarti dalam pengambilan
gambarnya. Bisa dibilang, kualitas visual, apa adanya. Untuk wardrobe dan
artistik, sangat lemah. Gak perlu dijabarin, sudah terlihat. Film tahun 1900an
yang terlalu modern.
|AUDIO|
Sisi audio pun juga tak ada yang spesial. Suara yang muncul, cukup untuk
memutarkan roda film yang terus berjalan dari durasi awal hingga selesai credit
title, tanpa meninggalkan kesan mendengarkan sebuah karya audio yang menawan.
|ACTING|
Tika Bravani seperti kehilangan arah dalam membawakan karakter Nyai Ahmad
Dahlan. Berawal dari naskah yang belum kuat juga, Tika seperti tak tau harus
menjadi Nyai yang seperti apa. Dia masih terlihat meraba-raba karakter yang ia
mainkan. Yang lain pun kasusnya sama, belum terlihat karakter masing-masing
tokohnya.
|KESIMPULAN|
Film Nyai Ahmad Dahlan hadir sebagai media belajar sejarah yang ‘konvensional’.
Bosan dan lelah, adalah ekspresi yang wajar ketika menontonnya. Tapi diluar itu
semua, dari film ini kita bisa semakin mengenal Nyai Ahmad Dahlan, sebagai
salah satu pahlawan perempuan yang dimiliki oleh Indonesia. #BanggaFilmIndonesia









0 komentar:
Post a Comment